Romansa, Tawa, dan Petaka dalam “The Book Thief” karya Markus Zusak

      Dalam karyanya yang berjudul “The Book Thief”, Markus Zusak, penulis berdarah Jerman asal Australia, membawa para pembacanya ke tahun-tahun kekuasaan Nazi di Jerman pada awal Perang Dunia II. Buku ini berfokus pada seorang gadis bernama Liesel Meminger yang diadopsi oleh keluarga Hubermann karena ibu kandungnya yang merupakan seorang komunis tidak bisa merawatnya. Demi menyelamatkan Liesel dan adiknya dari ancaman Nazi, ibunya terpaksa menyerahkan mereka ke panti asuhan.
          Di Himmel Strasse, Molching, Liesel kemudian dirawat oleh orang tua angkatnya, Hans dan Rosa Hubermann. Meskipun awalnya Rosa tidak menyukai Liesel, tetapi ia tetap merawatnya untuk mendapatkan tunjangan. Berbeda dengan istrinya, Hans justru mengajari Liesel membaca dan menulis di ruang bawah tanah. Liesel juga bergaul dengan tetangganya, Rudy Steiner, yang lambat laun jatuh cinta padanya. Keduanya semakin dekat dengan rasa kebencian terhadap Sang Führer, Adolf Hitler. Bersama-sama, mereka menyusuri jalan-jalan Molching sepulangnya dari sekolah.
Sumber: https://amzn.eu/d/cKuiSTM
    Liesel merupakan gadis yang sangat menyukai buku. Bahkan ketika ia belum bisa membaca, ia telah mencuri buku milik seorang penggali kubur. Setelah Liesel bisa membaca, ia juga mencuri buku pada acara pembakaran buku untuk memperingati hari ulang tahun Adolf Hitler. Pencurian ini ia lakukan sebagai bentuk pemberontakannya terhadap Adolf Hilter sendiri.
Alur cerita semakin seru Ketika Max Vandenburg, seorang pemuda Yahudi yang membutuhkan perlindugnan dari kejaran Nazi, bersembunyi ke keluarga Hubermann. Max yakin bahwa Hans Hubermann akan menerimanya di rumah mereka karena hutang budi di masa lalu. Awalnya Liesel tidak mengerti kenapa orang tua angkatnya begitu khawatir ketika Max tinggal bersama mereka. Liesel yang penasaran bertanya langsung pada Max dan mulai saat itulah kedekatan mereka terbangun.
Ada satu hal yang menonjol dan membuat The Book Thief mempunyai keistimewaan tersendiri di hati pembacanya. Buku ini dinarasikan oleh Sang Kematian yang kemudian membawakan cerita mengenai gadis kecil di tengah kemelut Perang Dunia II. Dalam buku ini, digambarkan pula bagaimana beberapa masyarakat Jerman memandang kejamnya perlakuan Nazi terhadap Yahudi sehingga berniat melindungi mereka, seperti yang dilakukan Hans Hubermann. Di antara perang dan kekejaman yang melanda di sekitar mereka, masih ada harapan dan cinta yang Liesel dan keluarganya tunjukkan untuk orang lain. Perang tersebut tidak menggerogoti jiwa mereka, mengikis rasa kemanusiaan, ataupun memantik kebencian.
Buku ini mempunyai akhir cerita yang tidak dapat diduga-duga dengan untaian cerita yang dikemas begitu apik sehingga mampu membuat perasaan pembacanya campur aduk. Dari Bahagia, sedih, hingga marah, membuat otang-orang tertarik untuk membaca kisah perjalanan di Pencuri Buku, Liesel Meminger.
“The Book Thief” sudah diangkat menjadi sebuah film dengan judul yang sama, disutradarai oleh Brian Percival pada tahun 2013. Film ini dibintangi oleh Sophie Nélisse sebagai Liesel Meminger dan Ben Schnetzer sebagai Max Vandenburg.

Teks: Intan Eliyun Nikmah
Foto: Amazon
Ilustrasi: Maria Helena Diogo
Artikel ini pernah diterbitkan oleh Sprich! 2021 di issuu.com
Previous Post Next Post

Contact Form