Bu Setiawati Darmojuwono atau yang akrab disapa Bu Setiawati merupakan salah seorang dosen di Sastra Jerman FIB UI yang telah mengabdikan dirinya untuk mengajar selama lebih dari 30 tahun.
Di Sastra Jerman, beliau mengajar beberapa mata kuliah, di antaranya Bahasa Jerman, Semantik, Terjemahan Jerman-Indonesia, dan Linguistik di program Pascasarjana. Hal yang tidak diketahui banyak orang mengenai Bu Setiawati, yaitu beliau sebenarnya merupakan lulusan S-1 Sastra Inggris FS UI dan pertemuan beliau dengan profesinya saat ini tidak terduga.
Prof.Dr.phil Setiawati Darmojuwono |
Lalu bagaimana perjuangan Bu Setiawati mulai dari awal beliau menjadi mahasiswa hingga menjadi dosen di tengah pandemi seperti sekarang? Tim Sprich! Magazin berkesempatan untuk mewawancarai Bu Setiawati sebelum beliau memasuki masa purnabakti.
Tim Sprich!: Guten Tag, Bu Setiawati. Sebelumnya kami mengucapkan terima kasih karena Ibu telah bersedia diwawancarai untuk majalah kami. Pertama-tama, boleh ceritakan terlebih dahulu biografi singkat Ibu, seperti latar belakang pendidikan Ibu?
Bu Setiawati Darmojuwono: Setelah saya menyelesaikan SMA, saya masuk ke Fakultas Sastra, tapi bukan di prodi Jerman. Saya belajar di Prodi Inggris selama 4 semester.
Setelah lulus dari UI, saya tidak langsung melanjutkan studi. Saya masuk ke sekolah penerjemahan dan sekolah pariwisata di Jerman. Kemudian setelah saya selesai dengan sekolah pariwisata, baru saya mulai studi lagi karena saya pikir, "Ah, saya sudah di Jerman, sayang juga kalau saya tidak studi di sini." Jadi, saya ikut program Magister di Universitas Hannover dan memilih Bahasa Jerman Linguistik sebagai Hauptfach, kemudian Sastra Jerman dan Filsafat sebagai Nebenfächer. Setelah menyelesaikan program Magister, kebetulan saya ditawari oleh pembimbing saya untuk langsung lanjut ke S-3. Saat itu saya mengambil bidang Linguistik.
Setelah itu, saya pulang ke Indonesia dan ingin bekerja di Goethe Institut. Waktu saya bertemu Direktur Goethe Institut, dia mengatakan, "Kamu ini mempunyai pendidikan Linguistik Jerman dan saat ini prodi Jerman di UI memerlukan seorang linguis. Kamu bisa tetap mengajar di Goethe Institut, tapi mungkin yang paling utama, kamu bisa ke UI."
Jadi, saya dipertemukan dengan Prof. Die Anton Moeliono, waktu itu ketua jurusan Germania. Kemudian saya diterima di UI bidang Linguistik. Tapi waktu itu karena saya selesai S-3, saya tidak perlu magang dan langsung diikutkan dalam tim Prof. Moeliono dan Prof. Benny Hoed. (Saat itu), saya mengajar Semantik di S-1 prodi Indonesia dan di Pascasarjana.
Dari mereka berdua, saya juga belajar banyak sekali, misalnya tentang bagaimana menyusun kurikulum yang baik, kemudian juga tentang perkuliahan; apa yang harus ada, apa yang bisa ditawarkan, dan sebagainya. Jadi, saya sangat beruntung pada waktu itu karena program Pascasarjana baru mulai akan dibangun.
Sprich!: Jadi bisa dibilang pertemuan Ibu dengan bahasa Jerman itu tidak sengaja, ya, Bu? Lalu apa yang membuat Ibu tertarik belajar bahasa Jerman?
Bu SWD: Ya, karena waktu itu juga saya pikir (dalam) pariwisata, pemandu wisata bahasa Inggris dan bahasa Belanda sudah banyak sekali. Lalu, misalnya di Jogja, waktu itu sangat jarang sekali (ada) pemandu wisata yang bisa berbahasa Jerman, padahal banyak juga turis Jerman. Saya pernah juga ingin menjadi pemandu wisata, tapi akhirnya menjadi dosen.
Sprich!: Kemudian, mengapa akhirnya Ib memilih untuk menjadi dosen?
Bu SWD: Sebetulnya waktu kembali dari Jerman, saya juga melamar pekerjaan lain. Saya dipanggil oleh Lufthansa dan satu perusahaan obat dari Swiss untuk menjadi penerjemah, tapi saya juga diterima di Fakultas Sastra prodi Jerman.
Akhirnya, saya memilih prodi Jerman karena saya pikir, kalau saya menjadi dosen, saya harus belajar seumur hidup. Tapi kalau misalnya saya menjadi penerjemah di pabrik obat, pasti hanya itu saja yang dikerjakan, tidak akan banyak yang harus dikembangkan dan sebagainya.
Walaupun di pabrik obat yang di Swiss honornya tentu cukup besar, sementara di prodi Jerman saya hanya mendapat uang transport, saya tetap memutuskan untuk menjadi dosen. Sampai sekarang, saya tidak menyesali keputusan itu.
Sprich!: Adakah kesulitan yang Ibu temukan ketika ingin menjadi dosen?
Bu SWD: Kalau menjadi dosen sebetulnya tidak ada kesulitan, bahkan waktu itu lancar-lancar saja. Tapi waktu itu pertama kalinya harus mengikuti ujian PNS. Saya tentunya juga harus ikut dan tidak begitu mudah karena saya baru kembali dari Jerman.
Di dalam tes itu ada soal, misalnya KUD (Kantor Unit Desa) itu singkatan apa. Itu sudah lama sekali saya tidak dengar, kemudian harus menjawab pertanyaan seperti itu. Tapi akhirnya tidak menjadi masalah.
Sprich!: Adakah cerita menarik pada saat Ibu pertama kali mengajar?
Bu SWD: Ada. Setelah kembali dari Jerman, saya mulai mengajar di FIB. Angkatan pertama yang saya ajar dan saya bimbing untuk skripsi adalah angkatan Bu Leli Dwirika. Mungkin Bu Leli masih ingat ini.
Universitas di Jerman itu masih menggunakan papan tulis yang hitam. Anda kenal papan tulis yang masih menggunakan kapur? Itu yang digunakan di Jerman pada waktu itu.
Kemudian saya datang, (kampus FIB) masih di Rawamangun waktu itu, papannya berwarna putih (whiteboard) dan tentunya tidak ada kapurnya. Saya agak bingung juga, terus terang saja. Mungkin mahasiswa juga heran.
Katanya dari Jerman, tapi nggak pernah melihat whiteboard. Hahaha. Akhirnya teman-teman Bu Leli mengatakan, "Bu, pake ini, Bu. Pake spidol."
Saya tidak bisa lupa itu. Bu Leli mungkin juga masih ingat. Di sini sudah lebih maju, jadi saya bingung, "Wah, ini putih warnanya. Terus bagaimana cara (saya) menulisnya."
Sprich!: Kalau karakter mahasiswanya, nih, Bu. Karakter apa yang berbeda antara mahasiswa dulu dan sekarang?
Bu SWD: Saya rasa berbeda karena saya mengajar mahasiswa sudah lebih dari 30 tahun yang lalu. Jika dibandingkan dengan mahasiswa dulu, angkatan Anda saya rasa lebih aktif dan lebih berani menyampaikan pendapat. Memang itu yang sebetulnya kami ingatkan.
Kalau mahasiswa angkatan 30 tahun yang lalu, biasanya tidak seaktif Anda. Mereka aktif, tapi tidak berani menyampaikan pendapat. Karena mungkin di SMA waktu itu juga diam saja. Jadi angkatan Anda saya rasa lebih berani untuk berpendapat. Saya rasa positif sekali, tidak hanya mengikuti apa yang dikatakan dosennya.
Sprich!: Sebagai pemelajar bahasa Jerman, kami juga tertarik mendengar pengalaman Ibu belajar bahasa Jerman. Bagaimana Ibu belajar bahasa tersebut?
Bu SWD: Di SMA sudah dapat bahasa Jerman karena saya waktu itu dari jurusan Budaya. Jurusan Budaya itu harus belajar macam-macam bahasa di sekolah saya. Selain yang wajib seperti Inggris dan Indonesia, kami belajar juga bahasa Jerman dan bahasa Belanda.
Sprich!: Apa yang menjadi pertimbangan ibu memilih jurusan budaya?
Bu SWD: Saya sekolah di sekolah katolik yang suster-susternya itu masih banyak dari Belanda juga. Tapi, kan, Belanda dan Jerman mirip. Setidaknya kalau ke Belanda masih bisa beli panekuk.
Sprich!: Berarti dari SMA Ibu sudah tertarik dengan bahasa dan budaya, ya, bu?
Bu SWD: Iya, saya sebetulnya boleh memilih waktu itu program IPA atau program lainnya. Kita diberi waktu 2 minggu untuk memikirkan mau masuk jurusan yang mana, tapi saya langsung mengatakan, "Oh saya tidak perlu waktu. Saya sudah tahu, saya pasti masuk ke Budaya."
Saya senang dengan antropologi dan sebagainya.
Dan kalau di jurusan IPA itu, saya harus setengah mati bekerja keras. Karena saya (mengerti) Matematika dan sebagainya itu hanya sedang- sedang saja. Tapi di jurusan Budaya tanpa banyak kesulitan, saya bisa belajar. Jadi saya memilih saja yang tidak repot.
Sprich!: Penelitian apa yang paling menarik, yang pernah Ibu lakukan?
Bu SWD: Tentunya semua penelitian menarik dari seginya masing-masing. Tapi penelitian yang sebetulnya menarik bagi saya terkait dengan kisah perjalanan penutur bahasa Jerman dari Swiss, Jerman, dan Austria pada abad ke-17 di Nusantara. Mereka bekerja di kapal VOC milik Belanda. Jadi ada yang sebagai prajurit, ada yang sebagai pendeta, dan sebagainya.
Dari buku harian mereka, (kita mengetahui) bagaimana mereka melihat Nusantara ini, baik dari flora dan faunanya, manusianya, alamnya, dan sebagainya. Ini menarik sekali karena buku harian ditulis bukan dari sudut pandang orang Belanda sebagai penjajah, tapi dari sudut pandang orang Jerman. Jadi sebenarnya ada kekhasannya juga.
Sprich!: Kita kembali ke awal pandemi, nih, Bu. Karena pandemi, semua harus serba online. Kuliah jadi daring. Bagaimana persiapan Ibu saat itu untuk menghadapi perubahan ini?
Bu SWD: Awalnya tentu kita semua mendapat pelatihan dari dosen muda yang menguasai media dengan baik, misalnya Ibu Lisda.
Di prodi Jerman itu kami dilatih, tapi karena waktunya singkat, jadi saya tentunya belum mahir.
Anda mungkin tahu, kadang-kadang juga (saya) masih gaptek dan mahasiswa yang membantu, hahaha. "Bu, ini yang ditekan. Ini-itu." Jadi secara teknis bisa berjalan dengan baik.
Sebetulnya (di era serba) online ini, mahasiswa dan dosen bisa menjadi lebih kreatif. Tentu ada tantangannya, tapi kalau mahasiswa kreatif, akan bisa lebih banyak yang dipelajari daripada bertatap muka.
Tapi kalau setelah selesai kuliah online langsung Anda tidur lagi, tentu tidak banyak yang didapatkan.
Sprich!: Sebentar lagi Ibu, kan, akan memasuki masa purnabakti. Apa, sih, yang akan Ibu rindukan, misalnya dari perkuliahan, mengajar, dan sebagainya?
Bu SWD: Saya rasa pasti pada awalnya juga akan menjadi janggal. Kalau biasanya, "Oh ya, saya harus mengajar pagi ini, kemudian nanti sore masih mempersiapkan perkuliahan, kemudian koreksi dan sebagainya." Nanti tentu tidak ada lagi kewajiban seperti itu.
Sprich!: Pertanyaan terakhir, Bu. Adakah pesan untuk para mahasiswa dan dosen di Sastra Jerman?
Bu SWD: Saya rasa, untuk mahasiswa terutama, jangan malas untuk belajar. Kemungkinan yang terbuka bagi Anda ini luar biasa. Dengan adanya era digital ini, kesempatannya banyak sekali.
Anda masih muda, Anda harus memanfaatkan kesempatan ini supaya Anda juga bisa bersaing secara global. Anda harus rajin menambah pengetahuan dan wawasan. Dengan semua media yang ada, hal ini bisa dilakukan.
Jadi syaratnya satu saja, tidak boleh malas. Kalau untuk dosen, saya rasa sebagai seorang dosen kita harus tetap selalu mengembangkan diri sesuai dengan perubahan yang terjadi. Dengan Kampus Merdeka ini, saya rasa perubahannya nanti akan besar sekali, berarti dosen itu harus kreatif. Selain itu, nantinya Kampus UI-nya juga bisa berkembang dengan baik.
Sprich!: Baik, terima kasih banyak atas kesempatan dan waktunya, Bu Setiawati.
Bu SWD: Sama-sama. Semoga sukses terus dengan studi Anda.
Kami mengucapkan selamat purnabakti kepada Bu Setiawati. Terima kasih banyak atas pengabdian Ibu dalam upaya untuk mencerdaskan anak bangsa. Semoga ilmu yang Ibu berikan bermanfaat bagi kami serta menjadi berkah untuk Ibu.
FUN FACTS!
- Bu Setiawati lahir di Temanggung, Jawa Tengah dan beliau merupakan 4 bersaudara. Dulu, Bu Setiawati bercita-cita menjadi seorang pemandu wisata.
- Hobi Bu Setiawati adalah jalan-jalan. Ketika beliau pensiun, beliau ingin melakukan hobinya tersebut dan mengunjungi anaknya di luar negeri.
Teks: Balqis Syifa Prastina
Foto: Dokumentasi Pribadi
Ilustrasi: Maria Helena Diogo
Artikel ini pernah diterbitkan oleh Sprich! 2021 di issuu.com