Di balik asumsi bahwa alumni dari program studi (prodi) sastra acap kali tidak memiliki masa depan yang pasti, anak-anak sastra justru mengincar berbagai posisi di bidang diplomasi. Mulai dari keinginan untuk bekerja di Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemenlu RI) hingga mengepakkan sayap menjadi duta besar di luar negeri, mereka jelas memiliki cita-cita yang tinggi meskipun jurusannya sering dipandang sebelah mata.
Gambar 1. Potret Tiya Hapitiawati |
Tiya Hapitiawati, seorang alumnus dari Prodi Jerman Universitas Indonesia (UI), juga menjejakkan kakinya di ardi diplomasi. Meskipun demikian, Tiya tidak melibatkan dirinya dalam diplomasi politik atau ketatanegaraan, melainkan berkecimpung dalam diplomasi budaya. Hal itu dilakukannya melalui profesinya sebagai seorang penerjemah sastra Jerman. Dengan kemampuannya dalam berbahasa Jerman dan keterampilannya dalam dunia sastra, Tiya mampu memberikan akses bagi orang-orang Indonesia untuk lebih mengenal Jerman lewat karya-karya sastra terjemahannya. Dengan demikian, dirinya menjadi diplomat budaya Jerman-Indonesia. Akan tetapi, sebelum menjadi seorang diplomat budaya yang sukses di masa kini, Tiya punya segudang kenangan yang membuatnya bisa berdiri hingga kini.
Tiga Tahun Belajar di SMA, Prodi Jerman UI Menjadi Pilihan Pertama
Tentu ada, tetapi jelas tidak banyak calon mahasiswa yang akan memilih program studi di bidang linguistik sebagai pilihan pertama ketika mendaftar kuliah. Kebanyakan orang akan memilih prodi dari bidang ilmu yang dianggap menjanjikan, seperti Kedokteran, Ilmu Hukum, atau Ekonomi. Berbeda dari mereka, Tiya justru memilih Prodi Jerman UI sebagai pilihan pertamanya saat mengikut seleksi Ujian Masuk Bersama Perguruan Tinggi Negeri (UMB PTN) 2008 silam.
Bukan untuk mencari aman atau sekadar coba-coba, ternyata Tiya memantapkan hatinya untuk memilih Prodi Jerman karena pengalaman pribadinya. Ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) dulu, dirinya telah mempelajari bahasa Jerman dari kelas satu hingga tiga SMA. Berbekal ilmu selama tiga tahun, Tiya pun memutuskan untuk melanjutkan pembelajarannya dan menekuninya lebih dalam di bangku kuliah.
“Aku masuk Sastra Jerman UI itu tahun 2008. Alasannya tuh gak ada yang ilmiah-ilmiah gitu. Ya, lebih ke karena emang udah belajar tiga tahun di SMA. Dulu, aku pernah belajar bahasa Jerman di SMA—tiga tahun—dari kelas satu sampai tiga. Sudah kadung basah, ya, aku melemparkan diri, masuk, udah-lah di-dalem-in aja,” jelas Tiya.
Selain itu, keputusan Tiya untuk memilih Prodi Jerman juga berdasarkan pada kegemarannya akan sastra. Tiya mengaku bahwa dirinya sangat suka untuk mengulik hal-hal yang menurut orang lain tidak penting, tetapi menurutnya penting. Kesukaannya itulah yang menimbulkan minat baru dalam dirinya untuk membaca buku-buku sastra dan sejarah sejak lama sebelum masuk ke UI.
“Dan yang make sense begini: kalau aku milih Sastra Indonesia, ya, bosen, deh; kalau Sastra Inggris, mah, keharusan itu. (Akhirnya,) aku mikir-nya, aku (mau) belajar bahasa asing di luar Inggris, (tetapi) aku ingin mengulik-ulik sesuatu yang sama seperti Dark Ages, makanya pilihan (ke-)satu-nya itu Sastra Jerman,” tambah Tiya.
Kesunyian Perpustakaan FIB UI yang Meramaikan Pemikiran Tiya
Berhasil masuk ke jurusan impiannya tak membuat Tiya cepat puas. Keberhasilan itu justru menjadi pengingat baginya akan tujuan awal dirinya memilih Prodi Jerman UI, yaitu meluaskan kemampuan berbahasa Jermannya dan memuaskan rasa ingin tahunya akan hal-hal menarik terkait Jerman. Terbukti, pada masa kaderisasi mahasiswa baru, Tiya sudah berani unjuk gigi tanpa malu-malu. Salah satu agenda dalam Pengenalan Sistem Akademik dan Masa Bimbingan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (PSA Mabim FIB) UI 2008 adalah Lomba Menulis Esai. Dengan percaya diri, Tiya pun memanfaatkannya sebagai kesempatan untuk menuangkan buah-buah pemikirannya tentang Adolf Hitler dari buku-buku sejarah yang dibacanya.
“Di PSA Mabim itu, kami semua diikutkan Lomba Menulis Esai. Aku inget banget, judul tulisanku adalah Aib Kelam Sang Diktator. Itu tentang Hitler. Aku nulis-nya basic (sesuai) yang aku dapetin dari buku-buku sejarah yang aku baca sebelum masuk UI, aku tuangin semua di situ. Sebenarnya, gak rumit-rumit, sih, cuma bagaimana mengulik Hitler sesuai dengan input yang aku dapet dari buku-buku itu. Ternyata, menang juara satu,” kenang Tiya sambil tersenyum simpul. Kemenangan itu jelas menjadi salah satu kenangan yang membanggakan baginya.
Sayangnya, setelah beberapa saat duduk di bangku kuliah dan menekuni sastra Jerman sebagai seorang mahasiswa, Tiya harus menghadapi tantangan yang tidak terduga sebelumnya. Semula, dirinya mengira bahwa dengan masuk Prodi Jerman, maka perkuliahan akan serta-merta berlangsung dengan kegiatan membaca buku-buku dalam bahasa Jerman. Nyatanya, perkuliahan berlangsung dengan mata kuliah utama terkait bahasa Jerman, mulai dari mengulang materi-materi level dasar yang sudah pernah dipelajarinya di SMA hingga level tertentu yang jauh lebih tinggi. Awalnya, Tiya menganggap bahwa itu adalah hambatan bagi kegemarannya dalam membaca buku-buku sastra, tetapi, lambat laun, Tiya pun menyadari bahwa itu adalah tantangan untuk bisa benar-benar menikmati sebuah bacaan berbahasa Jerman.
Sejak saat itu, Tiya mulai melakukan satu hal yang sangat jarang dilakukan oleh para mahasiswa lainnya di kala waktu istirahat dan pulang kuliah. Ketika teman-temannya menghabiskan waktu istirahat mereka dengan saling bergurau atau bersantai di kantin, Tiya justru meluangkan sebagian waktu istirahatnya di Perpustakaan FIB UI.
“Dari situ, ketika kuliah itu, (ketika) pulang kuliah atau jam-jam istirahat, (aku) ke perpustakaannya FIB—yang sekarang Gedung VII, Gedung Profesor. Itu satu gedung isinya buku berdebu semua, ya. Kenapa? Karena jarang ada yang baca. Siapa yang (mau) baca (kalau) itu semua berbahasa asing? Kita (saja) baru belajar (bahasa asingnya di) level satu-level dua, kan?
“Dari situ, muncul pemikiran seperti ini, ‘Biar (buku-buku itu) gak numpuk di rak, berarti kan harus diterjemahkan biar bisa dinikmati orang banyak. Pengen, deh, menjadikan (buku-buku) ini tidak lagi eksklusif, (melainkan) benar-benar menjadi akses yang baik untuk banyak orang. Bagaimana kalau, misalnya bahasa asing yang aku pelajari mati-matian ini bisa berguna buat orang banyak? Senang kali, ya, kalau orang Indonesia bisa belajar semuanya dalam bahasa Indonesia.’ Dari pemikiran yang seperti itu, muncul minat(ku) untuk menerjemahkan,” Tiya berkilas balik.
Perjalanan Menuju Dunia Penerjemahan
Berangkat dari pemikiran tersebut, Tiya menggiatkan dirinya sendiri untuk memperdalam kemampuan berbahasa Jermannya, mulai dari memahirkannya sesuai tingkatan, mempelajari ilmu linguistiknya, hingga memahami teori-teori penerjemahan Jerman-Indonesia secara khusus melalui Almarhumah (Almh.) Sally Pattinasarany.
“Kamu tahu Almh. Ibu Sally Pattinasarany? Dia guru aku, ya. Aku berguru banyak sama beliau. Sampai ketika beliau meninggal, aku sangat terpukul. Beliau mengajarkan—yang aku sebut sebagai—filosofi seorang penerjemah, yaitu jujur dan sabar. Jujur, maksudnya, ketika kita menerjemahkan, sesulit apapun, kembali lagi ke teks sumber (TSu). Terkadang, teori (penerjemahan) sendiri menjadi batu sandungan untuk menciptakan teks sasaran (TSa) yang enak dibaca. Nah, kuncinya adalah kembali ke TSu. ... Sabar itu, maksudnya begini. Penerjemah itu bukan pekerjaan yang tahu-tahu dapat uang banyak, apalagi freelance, sehingga harus berusaha hidup dari menerjemahkan sana-sini,” cerita Tiya sambil menjelaskan filosofi seorang penerjemah.
Berkat kedekatan Almarhumah dengan dirinya, Tiya memercayakan beliau sebagai pembimbing skripsi untuk memperoleh gelar Sarjana (S-1) Humaniora-nya. Adapun penulisan skripsi tersebut terinspirasi oleh salah satu karya dari penulis Jerman yang belum terlalu terkenal waktu itu, yaitu Erich Kästner. Dalam skripsinya tersebut, Tiya menganalisis penerjemahan dari novel asli Jerman berjudul Emil und die Detektive ke novel terjemahan Indonesia berjudul Emil dan Polisi-Polisi Rahasia. Di bawah bimbingan Almarhumah, Tiya pun berhasil menyelesaikan skripsinya tersebut dan lulus dari Prodi Jerman UI pada tahun 2012.
Setelah resmi bergelar sarjana humaniora, Tiya segera terjun ke dunia penerjemahan. Dia mengawali karirnya sebagai seorang penerjemah umum lepas (freelance) di suatu agensi. Dirinya bertugas untuk menerjemahkan berbagai jenis dokumen, antara lain jurnal dan artikel. Sayangnya, dokumen-dokumen tersebut kebanyakan berisikan angka dan data. Penerjemahan dokumen nonteks seperti itu tentu lebih membutuhkan kehati-hatian dan ketelitian yang baik daripada penggunaan teori-teori penerjemahan. Merasa ilmunya tidak terpakai secara maksimal, Tiya pun menjadikan penerjemahan umum sebagai pekerjaan sampingannya dan beralih ke penerjemahan sastra.
Rupanya, lapangan pekerjaan untuk penerjemah sastra di Indonesia sangatlah jarang. Kenyataan pahit itu membuat Tiya belum mampu menggapai profesi tersebut hingga berselang satu tahun dari kelulusannya. Dengan pertimbangan antara karir yang belum terlalu bagus dengan ilmu S-1-nya yang masih hangat di kepala, Tiya memutuskan untuk melanjutkan studinya ke jenjang S-2 di Prodi Ilmu Linguistik UI pada tahun 2013.
“Ya, akhirnya, aku lanjut masuk Ilmu Linguistik 2013. S-2, tuh, gak ada waktu buat nyari duit karena emang S-2 padat. Aku lulus 2016—2,5 tahun soalnya sempet cuti satu semester dulu. Setelah lulus, aku juga masih suka nerjemahin freelance juga di (penerjemahan) umum, ya. (Akan) tetapi, aku (lebih) banyak vakumnya karena aku punya bayi waktu itu dan cukup menyita waktu gitu sampai tahun 2018.”
Dari Penerjemah Sastra sampai Menjadi Editor Akuisisi Moooi Pustaka
Mungkin kita dapat sepakat bahwa keberuntungan ada ketika kesempatan bertemu dengan kesiapan dan kemampuan. Hal itulah yang terjadi dalam kehidupan Tiya di tahun 2018. Ketika waktunya sudah mulai luang dan dirinya siap menerima berbagai peluang, Eka Kurniawan mendirikan Moooi Pustaka, sebuah penerbitan khusus karya sastra terjemahan.
Sebagai seseorang yang telah mengenal Eka melalui novel Cantik itu Luka yang terbit pada tahun 2002, Tiya menjadi salah satu pembaca yang mengikuti Eka di media sosial. Tanpa disangka, hubungannya dengan Eka di dunia maya justru menjadi pintu yang menghubungkan mereka di dunia nyata. Pada suatu waktu di 2018, Tiya membaca sebuah unggahan Eka yang berisikan pengumuman bahwa dirinya berniat untuk mendirikan sebuah penerbitan sastra dan membuka lowongan pekerjaan bagi para calon penerjemah. Dengan kesiapan dan kemampuannya yang memadai saat itu, Tiya jelas tidak membiarkan kesempatan itu berlalu.
“Waktu itu, (aku) terus bilang sama Kang Eka kalau aku (berminat) nerjemahin (karya sastra) Jerman meskipun aku belum pernah nerbitin (karya sastra terjemahan). Aku belum punya portofolio itu sehingga portofolioku isinya hanya jurnal, artikel-artikel, dan dokumen-dokumen yang pernah aku terjemahin buat agensi itu, ya. Ya, (sebenarnya), itu gak ada guna (untuk melamar) masuk penerbitan, tetapi Kang Eka menerima itu.
“Kang Eka selalu bilang, ‘Kalau kamu bisa cas-cis-cus ngomong bahasa asing, tapi gak bisa nulis (dalam) bahasa Indonesia—gak bisa membuat satu wacana utuh dalam bahasa Indonesia yang enak dibaca, yang layak dijual—ya, gak bisa jadi penerjemah sastra, tetapi, kalau kamu punya keinginan yang kuat, kamu suka baca, kamu suka nulis, kamu tahu gimana caranya memproduksi sebuah tulisan yang baik dan enak dibaca, kamu punya kemampuan bahasa asing—itu pasti bisa.’ Aku pun gabung ke Moooi sebagai penerjemah sastra Jerman,” jelas Tiya panjang lebar.
Gambar 2. Buku Terjemahan Tiya Hapitiawati |
Setelah sekitar setahun bersama-sama berusaha merealisasikan penerbitan tersebut, Moooi Pustaka pun meluncurkan penerbitan perdana mereka pada Juni 2019. Salah satu buku yang turut menjadi bagian adalah novel karya Hans Fallada berjudul Lelaki Malang, Kenapa Lagi? yang diterjemahkan langsung oleh Tiya dari bahasa Jerman ke bahasa Indonesia. Berselang kurang lebih tiga bulan dari penerbitan buku terjemahan pertamanya, Tiya diangkat menjadi Editor Akuisisi Moooi Pustaka.
“Ya, ternyata itu berjalan baik ke sini-sininya. Kami berusaha untuk menjadi penerbit yang se-sustain mungkin. Sampai gak berapa lama, aku ada di Editor Akuisisi karena (Moooi) mulai untuk menerbitkan (terjemahan) kontemporer sehingga harus ada kontak dengan penerbit-penerbit, agency-agency, penulis-penulis luar. Akuisisi itu (proses penerbitan) untuk menentukan apakah suatu karya bagus atau gak untuk diterbitkan. Itu tugasku,” lanjut Tiya sambil menjelaskan detail proses penerbitan.
Meskipun Tiya secara resmi telah terikat dengan Moooi Pustaka sebagai seorang Editor Akuisisi, posisi tersebut tidak menutup dirinya untuk melanjutkan peranannya sebagai seorang penerjemah. Hal tersebut memungkinkan karena Moooi Pustaka tidak mengikat ketat para penerjemahnya di posisi yang tetap. Oleh karena itu, Tiya pun berhasil menerjemahkan banyak karya sastra Jerman lainnya ke bahasa Indonesia, mulai dari Kalut (2020), Musim Panas Penghabisan (2020), Resolusi Komune (2021), Laba-Laba Hitam (2022), Common, Apaan itu? (2022), hingga Nadir (2022). Adapun penerjemahan semua karya sastra tersebut sesuai dengan nilai-nilai dirinya sendiri dan Moooi Pustaka, yaitu ditulis oleh penulis-penulis yang belum terkenal secara umum dan diterjemahkan secara langsung dari bahasa aslinya—bahasa Jerman tanpa perantara bahasa Inggris—ke Indonesia.
Harta Tak Terkira sebagai Seorang Penerjemah Sastra Jerman
Gambar 3. Tiya di Frankfurter Buchmesse |
Dari karya-karya sastra yang telah diterjemahkan olehnya, Tiya sudah pasti mendapatkan dua hal berharga, yaitu hak kekayaan intelektual dan honorarium. Akan tetapi, lebih dari keduanya, Tiya mendapatkan banyak harta tak terduga sebagai seorang penerjemah sastra Jerman. Dengan bermodalkan portofolio-portofolio dari setiap karya sastra yang diterjemahkannya secara baik, keberadaan Tiya sebagai seorang penerjemah sastra mendapat pengakuan resmi dari Pemerintah Federal Jerman yang membuatnya berhak untuk mengikuti berbagai program dari pemerintah Jerman terkait dengan penerjemahan dan mendapatkan berbagai keuntungannya.
“Dari portofolio (yang menunjukkan) kamu pernah menerjemahkan satu buku dengan segala prosesnya, ya sudah, (kamu) diakui. Dari bahasa (Jerman) asli, loh, ya, diterima dan enak dibacanya, jangan sampai acak-acakan gitu! Kalau laku berarti enak (dibaca), kan? Dari portofolio itu, baru kita boleh mengikuti program-program yang diadakan. Programnya bermacam-macam dan selalu ada beasiswa yang mungkin gak pernah dibayangkan sama temen-temen. Ada Residenz Stipendium (beasiswa residensi), Arbeits Stipendium (beasiswa kerja), dan Reise Stipendium (beasiswa perjalanan). Itu semua ada di anggaran mereka. Aku, dua tahun berturut-turut, ke Jerman dibiayain (oleh) Federal Jerman. Semua kebutuhan, mulai buka mata sampai tutup mata lagi, itu ditanggung sama mereka. Gak keluar uang, (malah) dikasih uang,” terang Tiya dengan gamblang.
Selain meraih keuntungan-keuntungan materiel, Tiya juga berkesempatan untuk memperbanyak pengalaman dan memperluas pertemanan. Melalui Summer Academy sebagai salah satu program yang pernah diikuti olehnya, Tiya dapat merasakan ketatnya proses penyeleksian serta berkenalan dengan sepuluh penerjemah bahasa Jerman lainnya dari seluruh dunia yang sama-sama berhasil terpilih dan diundang secara eksklusif. Program tersebut juga memfasilitasi Tiya untuk menuangkan pikirannya melalui esai yang disertakannya ketika pendaftaran. Dalam esainya, Tiya mengungkapkan bagaimana kondisi umum sastra Jerman di Indonesia sehingga orang Jerman dapat mengetahuinya.
Demikianlah perjalanan panjang seorang Tiya Hapitiawati dalam menapaki profesi sebagai penerjemah sastra. Bermula dari pemikiran sederhana, tetapi bermakna kala masih kuliah, Tiya tidak mudah menyerah. Tentu tidak mudah untuk terus melangkah ketika ada masalah, bukan? Akan tetapi, sebagaimana seorang penerjemah yang harus selalu kembali ke teks sumber, Tiya juga selalu kembali kepada pemikirannya agar minat dan niatnya dapat terwujud. Berkat usahanya, Tiya pun berhasil mewujudkan mimpinya, bahkan—beroleh badar tertimbakan—dirinya mendapatkan banyak keuntungan yang tidak disangka-sangka dari profesinya sebagai penerjemah sastra Jerman. Oleh karena itu, secara pribadi, Tiya cukup merekomendasikan profesi tersebut kepada para mahasiswa sastra.
“Menjadi penerjemah sastra itu (berarti) memerankan diri kita sebagai jembatan penghubung. Menjadi seorang penerjemah sastra adalah menjadi seorang diplomat budaya. (Sebagai mahasiswa sastra), kita punya pengetahuan yang mencukupi untuk bisa menyampaikan gagasan penulis berbahasa asing dengan segala budaya, sejarah, dan dunianya ke dalam budaya orang Indonesia. (Oleh karena itu,) pekerjaan ini sangat penting karena tanpa seorang penerjemah sastra, tidak akan ada akses bagi orang Indonesia untuk mengetahui hal-hal itu. Dengan kemampuan kita, kita bisa mengambil peran itu, menjadi jembatan penghubung yang baik antara budaya asing dengan budaya kita,” pesan Tiya kepada para mahasiswa sastra, khususnya Sastra Jerman UI.
Teks: Jesica Dominiq M.
Foto: Dokumentasi Pribadi
Penyunting Teks: Muhammad Mirza
Ilustrasi: Esterlita Claudia W.