Riot Grrrl



Pada tanggal 20 Juli 2018, saya menghadiri Agenda Kajian Malam yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Mahasiswa (LKM) UNJ sebagai pemateri kajian dengan topik pergerakan “Riot Grrrl: Perempuan dalam Kancah Musik Punk dengan Pengaruh Feminisme Gelombang Ketiga”. Agenda kajian tersebut diadakan di gedung G Univeritas Negeri Jakarta lantai 3 ruang G 305 pada pukul 19.00—22.00 WIB. Acara dimulai dengan pembacaan materi, kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dan diskusi.

LKM UNJ yang berdiri pada tanggal 18 Juni 1981 dengan nama Forum Diskusi Ilmiah Mahasiswa Ekaprasetya (FODIM-E) sendiri adalah salah satu unit kegiatan mahasiswa yang berkecimpung di UNJ dan bergerak dalam bidang penalaran. Kegiatan-kegiatan yang senantiasa aktif ditekuni oleh anggota-anggota LKM antara lain merupakan retorika, presentasi, moderasi, orasi, diskusi, debat, persidangan, analisis berpikir, penulisan karya ilmiah, dan penulisan esai.


Menghadiri acara kajian tersebut sebagai pemateri merupakan suatu kehormatan tersendiri bagi saya, karena pada kesempatan yang berharga ini, saya dapat memanifestasikan perspektif saya perihal topik yang saya gemari dan berdiskusi tentang topik tersebut secara terbuka.


Tentang materi yang disampaikan, Riot Grrrl yang dibahas adalah pergerakan feminis gelombang ketiga yang bergerak secara underground (di bawah tanah) dan terlahir dari kancah musik alternatif dan punk pada tahun 1990an. Pergerakan ini dimulai pada tahun 1991, ketika sekelompok perempuan yang berasal dari Evergreen State College di Olympia, Washington, mengadakan sebuah pertemuan untuk membahas bagaimana upaya menangani seksisme dalam  perkancahan musik punk. Pionir yang paling tersohor dari gerakan ini adalah Kathleen Hanna dari band Bikini Kill. Terinspirasi kerusuhan anti-rasisme di D.C., sekelompok perempuan memutuskan bahwa mereka ingin memulai “riot” (kerusuhan) sebagai bentuk perlawanan kepada masyarakat patriarkis yang menurut mereka tidak memberikan cukup ruang terhadap perempuan, termasuk dalam ranah musik.


Kata “girl” (anak perempuan) dari istilah “riot grrrl” pertama kali digunakan karena adanya keinginan untuk fokus pada masa kanak-kanak bagi perempuan, yaitu saat perempuan memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Penulisan ulang huruf ‘r’ pada dari kata "grrrl" mewakili kemarahan di balik gerakan tersebut; dimana kata itu menjadi  terdengar seperti geraman. Tokoh yang memprakarsai pergerakan ini, Kathleen Hanna, mempunyai riwayat yang aktif dalam kancah musik punk—genre yang dikenal menggunakan kinerjanya sebagai alat protes terhadap fasisme dan kemapanan—karena itu Riot Grrrl memiliki orientasi yang lebih radikal daripada organisasi feminis lainnya. Anggota-anggota Riot Grrrl merupakan para aktivis, penerbit, musisi dan seniman.  Mereka mengadakan pertemuan rutin dan konferensi nasional yang serupa dengan kelompok diskusi feminis tahun 1960an dan 1970an. Forum ini mengajak wanita untuk bertemu dan mendiskusikan musik serta pengalaman mereka tentang seksisme, citra tubuh dan identitas. 


Band-band yang terkait dengan pergerakan Riot Grrrl menggunakan musik mereka sebagai media untuk memanifestasikan pandangan feminis dan anti-rasisme. Bikini Kill, Bratmobile, dan Heavens to Betsy (semua band yang terkait Riot Grrrl) menciptakan lagu dengan lirik yang bersifat sangat pribadi dan membahas topik-topik yang seringkali dianggap tabu di masyarakat. Para perempuan yang mendengar lagu-lagu tersebut banyak yang tercerahkan untuk menyadari bagaimana masalah pribadi mereka relevan dengan struktur politik dalam skala yang lebih besar. Anggota-anggota band yang berhubungan dengan Riot Grrrl juga menerima  sejumlah surat dari perempuan-perempuan yang ingin menghubungkan bagaimana lirik ini mempengaruhi kehidupan mereka.


Sebagai sebuah pergerakan bawah tanah yang sangat terkait dengan musik punk, politik radikal dan estetika DIY, para aktivis Riot Grrrl berperan penting dalam penciptaan zine dan emansipasi bagi perempuan dalam kancah punk. Sementara beberapa orang mengatakan bahwa pergerakan tersebut hanya berlangsung sampai pertengahan tahun 90an, yang lain berpendapat bahwa pergerakan tersebut tidak pernah berakhir.


Salah satu tujuan utama Riot Grrrl dalam feminisme gelombang ketiga adalah membangkitkan feminisme dengan penyampaian yang lebih sederhana dan personal, dengan harapan, pergerakan tersebut akan memacu gadis-gadis muda untuk terlibat dan berkontribusi. Menjelang akhir tahun 80an, feminisme telah pudar dari budaya populer dan hanya dibahas dalam  ranah  wacana akademis saja. Pada saat itu, satu-satunya jenis kalangan yang masih membicarakannya adalah kaum intelektual yang ekspresinya terlalu rumit dan berpikiran tinggi. Riot grrrl membawa masalah yang nyata dan dapat ditemui dalam keseharian untuk kembali menjadi sorotan dalam feminisme. Kancah punk/DIY adalah sarana yang kredibel bagi perempuan untuk menyuarakan aspirasinya dalam mengubah lanskap budaya gender dalam komunitas mereka dan juga dalam ruang lingkup yang lebih besar.


Gerakan feminis gelombang ketiga di Amerika Utara dan Eropa dimulai pada akhir 1980an dan berada pada puncaknya selama awal tahun 1990an, tetapi secara teknis mencakup gelombang feminis yang berlanjut sampai sekarang. Gelombang ketiga feminisme dimulai pada saat tren tersebut mengacu pada “segala sesuatu sebagai "pasca feminis." Secara luas, masyarakat menganggap bahwa feminisme telah melakukan tugasnya dan tidak lagi menjadi kekuatan politik atau sosial yang diperlukan di dunia yang "maju". Masyarakat yang berpikiran seperti demikian tidak lagi berpikir bahwa feminisme gelombang ketiga masih relevan karena menurut mereka, pergerakan yang berpusat pada emansipasi perempuan  sudah cukup berhenti di hak memperoleh pendidikan, kesetaraan upah, dan hak berpolitik bagi perempuan saja (yaitu feminisme gelombang pertama dan kedua). 


Feminisme gelombang ketiga sering kali dianggap “radikal” dan “tidak lagi relevan”. Karena pemikiran ini, seiring dengan kemunculannya yang saling berkaitan, feminisme gelombang ketiga tidak dipelajari sesering atau  dianggap sama krusialnya dengan gelombang pertama dan kedua. Meskipun benar bahwa gelombang ketiga kurang ditentukan oleh platform hukum dan politik yang  spesifik  karena gelombang pertama adalah dengan hak pilih dan yang kedua adalah hak reproduksi, tetapi memang memiliki seperangkat nilai dan platform konkret jika seseorang memilih untuk mempelajarinya lebih dalam. 


Feminisme gelombang ketiga, dalam banyak hal, memberikan kontribusi untuk mengubah sistem dimana dua gelombang pertama berjuang untuk mendapatkan hak. Tugas feminisme gelombang ketiga ialah memberantas sisa-sisa budaya patriarki yang masih  sering ditemui perempuan dalam keseharian mereka, seperti stereotipe berdasarkan gender atau budaya maskulinitas.


Teks: Ralka

Artikel ini pernah diterbitkan oleh Sprich! 2020 di issuu.com



Previous Post Next Post

Contact Form