Pengalaman si anak akan menjadi sejarah dirinya. Kepingan kecil dari kompilasi kisah manis dan pahit yang dapat ditarik kembali guna memahami dirinya. Dalam konteks yang lebih besar, misal sebuah bangsa, sejarah bukan hanya soal masa lalu, tapi peristiwa-peristiwa yang membentuk dirinya. Rangkaian yang terus mengalir dan menghasilkan hubungan sebab-akibat.
Kita tentu berharap pengalaman yang pahit dapat diantisipasi, atau setidaknya, tidak terulang lagi. Namun, selayaknya hidup, ada sebuah siklus yang terus bergerak, berputar dari satu titik ke titik lainnya. Mari kita menengok sejenak ke barat, ke negeri para pemikir dan penyair.
Puluhan tahun lalu, pada perang dunia kedua, seluruh dunia menunjuk Jerman atas segala musibah yang terjadi akibat perang brutal nan ganas itu. Ketika itu, mereka berada di sisi yang salah dalam sejarah. Ambisi seorang penguasa mendorongnya. Mereka menginvasi bangsa lain, mengorbankan jutaan nyawa rakyatnya, dan berusaha menghapus satu kelompok dari dunia (Holocaust). Dunia lalu mengganjarnya, membelah mereka, menjadi barat dan timur, melemahkan militernya, dan menuntut ganti rugi.
Tahun-tahun berlalu, Holocaust memberi Jerman utang sejarah pada umat Yahudi dan Israel. Pemerintah Jerman merasa perlu untuk bertanggung jawab atas keamanan dan eksistensi Israel. Segala bentuk kritik dan kontra terhadap hal ini adalah bentuk anti-semitisme, perihal yang tak bisa ditoleransi.
Dukungan Jerman sebetulnya menerabas logika. Tindakan mereka seakan buta akan realita, tentang mana yang pelaku dan korban, siapa yang menindas dan ditindas. Jerman, sekali lagi, berada di sisi yang salah dalam sejarah. Mereka tentu belajar dan terus mengingat sejarahnya, tapi mungkin belum memaafkan dirinya sendiri.
***
Melihat kondisi Jerman, rasanya kita, Indonesia, dapat berkaca pada diri sendiri. Dari Senayan, Medan Merdeka, dan calon pengganti ibu kota, kita melihat sejarah berulang. Setelah lebih dari dua puluh tahun reformasi, sejarah nampak tersisih dan terabaikan. Pemimpin diganti penguasa, dengan metode yang kurang lebih sama.
Selayaknya pandemi yang dianggap siklus sekali seabad, menganggap berbagai perkara hangat ini sebagai pola yang berulang terdengar pasrah. Sayangnya, anggapan ini menunjukan sebuah bentuk kesadaran, bahwa di tengah gerak dunia yang enggan berhenti, selalu ada perihal di luar diri kita yang tak bisa dirangkul.
Mari kembali pada anak yang dirundung itu. Akan jadi seperti apa dia nanti? Bagaimana dia memperlakukan orang yang bekerja padanya? Si tertindas yang menjadi penindas, atau si tertindas yang memilih berbeda? Rasanya, untuk menjadi berbeda, ia hanya perlu mengingat, betapa menyebalkannya ditindas dan betapa menyedihkannya merasa tidak berdaya.
Merawat dan memanjangkan ingatan, adalah upaya termudah dan termurah, membuat kita akan selalu awas. Langkah kecil yang dapat menciptakan rasa berdaya, menjadi penanda bahwa ada hal-hal biasa yang mungkin tak seharusnya, dan mengingatkan bahwa selalu ada cara untuk keluar, atau setidaknya, bertahan.
Teks: Muhammad Mirza
Penyunting Teks: Sang Bunga Semesta
Ilustrasi: Tiara Karina